Ini kisah alumni Pesantrenku, Selamat membaca....
---------------
Rubrik Persona, Kompas, Minggu, 20 Mei 2012.
Konten dikutip dari: [I:Boekoe].
---------------
Oman Fathurahman tidak pernah merancang hidupnya. Namun, sejak remaja
dia memelihara cita-cita: suatu ketika bisa jadi mahasiswa. Lewat jalan
berliku–termasuk jadi pedagang asongan–Oman melampaui cita-citanya.
”Cita-cita saya bertahap karena harus mengukur diri,” ujar laki-laki
asal Kuningan, Jawa Barat, yang menghabiskan masa remaja di lingkungan
Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.

Dengan setengah hati, Oman belajar di Haurkuning.
Setahun di sana, Oman pamit pada kiai dan kembali ke rumah. ”Saya minta
izin lagi ke orangtua untuk kuliah. Tapi tidak diizinkan. Saya malah
dimasukkan ke pesantren tauhid di Manonjaya, Tasikmalaya.”
Seminggu di sana, Oman menunjukkan prestasi. Dia
juara pidato seasrama dan sepesantren. Dia dielu-elukan, diberi hadiah
makan gratis. Namun, Oman justru galau. ”Kalau begini terus saya enggak
akan kuliah.”
Akhir 1980-an, Oman kabur ke Jakarta mencari
uang. Usianya baru 19 tahun ketika dia merasakan kerasnya hidup di
Jakarta. Setiap hari Oman jalan kaki dari rumah sepupunya di Kebayoran
Lama–tempat dia menumpang hidup–ke bioskop Djakarta Theater, di sekitar
kawasan Sarinah, Jakarta, untuk mengasong. Hasil bersih yang didapat
Oman hanya Rp 1.000 per hari. ”Saya nangis beberapa kali. Kok jadi
tukang asongan. Bagaimana bisa ngumpulkan uang untuk biaya kuliah.”
Enam bulan kemudian, Oman membaca iklan yang
mencari editor bahasa Arab. Oman melamar dan berhasil mendapatkan
pekerjaan itu. ”Gajinya Rp 80.000, dan saya bisa tinggal di asrama
perusahaan di Roxy.”
Nasibnya membaik. Oman bisa mengumpulkan uang
untuk biaya kuliah. Tahun 1990, dia akhirnya kuliah di Jurusan Bahasa
Arab UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. ”Nyatanya, setelah lulus saya
jadi pengangguran.”
Saat itulah, Profesor Nabila Lubis, dosen filologi pertama UIN, Jakarta,
meminta bantuan Oman mengedit suntingan manuskrip berbahasa Arab dengan
terjemahan beraksara Jawa. ”Saya ambil tawaran itu karena ada duitnya.
Ternyata tidak terlalu sulit. Saya hanya memberi komentar pada
terjemahan yang salah. Rupanya itulah pekerjaan filolog.”
Sejak saat itu, Oman berkenalan dengan filologi. Dia lebih jauh
mengarungi rimba filologi setelah mendapat beasiswa S-2 dan S-3 di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Begitulah, jalannya di dunia filologi lumayan mulus sebab sejak di
pesantren Oman terbiasa membaca kitab tua. ”Cuma waktu itu enggak ada
yang bilang kalau itu manuskrip.”
Setelah sukses menjadi filolog dengan spesialisasi naskah Islam
Indonesia, Oman membangun satu lagi obsesi: menyebarkan kajian manuskrip
ke pesantren. ”Kalau itu sudah dilakukan, puaslah hidup saya.”
(BSW/AIK)
sumber : Blog Kang Oman Fathurrahman
0 comments:
Post a Comment