Selamat Malam Kota Malang, Kota penuh cerita, Kota Pergerakan. Ya, kota
Pergerakan. Karena di kota ini, terdapat banyak kampus dengan nama besar dan
didalamnya terdapat berbagai macam organisasi yang berbasis pergerakan, seperti
HMI, PMII, GMNI, PMKRI, dan lain-lain. Pergerakan disini dimaksudkan adalah
gerakan kaum intelektual muda yang ditujukan untuk membela kaum mustadh’afin
dari kebijakan para elit politik dan penguasa yang tidak berpihak pada orang
yang mempercayainya.
Penulis adalah anggota dari salahsatu organisasi pergerakan tersebut.
Penulis adalah anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), khususnya
di Rayon Pencerahan Galileo. Dalam prosesnya, penulis sangat bangga
menjadi bagian dari PMII. Dari para sahabat disana, penulis belajar banyak hal,
terutama di bidang kapasitas kepemimpinan dan olah intelektual. Penulis meyakini
bahwa PMII adalah organisasi mahasiswa yang tepat karena berhaluan ahlussunnah
waljamaah, salahsatu ideologi islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai
moderasi dan pluralitas/ke-bhinneka-an. Penulis juga mengenal banyak
sahabat-sahabat yang sangat baik dan menjadi sahabat dalam suka maupun duka.
Baik dalam situasi yang sunyi maupun gaduh.
Gaduh, ya memang adakalanya suatu organisasi menjadi gaduh dan tidak
terkontrol, karena itu adalah bagian dari pembelajaran dalam berorganisasi. Ada
fase dimana sesama anggota saling adu eksistensi, adu intelektualitas, bahkan
adu jotos. Penulis kira, ini adalah hal wajar dimana dalam berorganisasi, hal
tesebut adalah fase yang normal untuk dilalui, karena kemudian dapat menjadi
hal untuk muhasabah dan instropeksi para pegiat organisasi untuk lebih
dewasa dan bermartabat untuk menjadi rijalul ghad.
Banyak dari sekian alumni organisasi yang berhasil menjadi manusia, manusia
yang bermanfaat bagi ummat, meskipun tak sedikit pula jebolan organisasi yang
menjadi maling, tukang jambret, bahkan penjilat rakyat. Namun, tak adil kiranya
ketika kita selaku subjek yang menilai, memandang bahwa apa yang dilakukan
seseorang mencerminkan apa yang dilakukan organisasinya secara umum. Memang ada
pepatah yang menyatakan bahwa Buah tak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya,
peribahasa ini tidak adil jika kemudian dijadikan dalil yang jami’
dan ditujukkan kepada semua orang. Karena sejatinya, tidak kemudian apa yang
kita lakukan akan selalu sama dengan apa yang dilakukan oleh teman kita,
meskipun dengan latar belakang organisasi maupun ideologi yang sama, karena ada
olahan terlebih dahulu dari apa yang difikirkan menuju apa yang akan dilakukan,
sehingga apa yang kita lakukan bisa saja berbeda dengan sahabat kita. Intinya,
penulis mengharap, pembaca harus kemudian objektif dalam menilai suatu fenomena
yang terjadi, dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun kondisinya, seperti hanya kita menilai suatu berita.
Akhir-akhir ini, sering kita melihat pemberitaan yang memojokkan salahsatu
pihak. Dalam artian, pemberitaan yang tidak berimbang, dan sarat dengan asupan yang
subjektif para penulis berita. Hal ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah
terjadi, dan memang ada ilmu khusus yang membahas terkait bagaimana kemudian
seorang penulis berita harus di bingkai sedemikian rupa sehingga berita dapat
terlihat berbobot dan menarik untuk dibaca. Namun, pengamalan ilmu yang
digunakan untuk praktek kapitalisme-lah yang kemudian mencederai kode etik
jurnalistik yang seharusnya ditaati.
Pem-bully-an habis-habisan terhadap organisasi ekstra bernama
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah salah satu contohnya. Sebuah media
memberitakan bahwa dana yang digunakan dalam penyelenggaraan Kongres HMI di
Riau menyerap APBD Riau hingga menembus angka 3 M dan melebihi alokasi dana
APBD untuk korban bencana kabut asap di Riau yang hanya berkisar 1,4 M. Menurut
penulis, hal ini memang terlalu berlebihan ketika dana sebesar itu dialokasikan
untuk kegiatan kongres organisasi mahasiswa apabila dibandingkan dengan alokasi APBD untuk penanggulangan bencana asap Riau. Sehingga kemudian media banyak memojokkan HMI dengan berbagai pemberitaan yang
terkesan sangat gaduh. Disini penulis tidak kemudian hendak membela HMI dan
setuju terkait alokasi APBN tersebut, namun penulis mempertanyakan keberpihakan
media. Menurut penulis, seharusnya media lebih menyorot terkait apa yang
dilakukan pemprov Riau? Apakah Pemprov Riau masih waras? Mengapa alokasi dana
untuk korban bencana asap lebih sedikit dari apa yang diberikan kepada HMI
untuk Kongresnya? Masihkan pemprov Riau punya hati? Padahal bencana asap
menyangkut nyawa manusia, bukan lagi hanya menyangkut kepentingan organisasi.
Entah apa maksud media dengan melakukan pemberitaan tersebut, yang pasti,
HMI sangat dirugikan atas kegaduhan ini. Penulis tidak berkomentar atas
kerugian yang dialami PB HMI, tapi kerugian atas ruang-ruang professional
kader-kader HMI di tingkat basis. Karena kita semua tahu, bahwa kaderisasi di
tingkat basis (Komisariat dan Kordinator Komisariat) masih mempraktekkan etika
organisasi yang masih bersih dan jauh dari sifat-sifat transaksional. Para
kader HMI di tingkat basis dipukul habis-habisan oleh kegaduhan yang sebetulnya
tidak perlu, Dalam artian, tidak perlu ditujukan kepada HMI selaku yang diberi dana oleh pemprov
Riau. Karena seharusnya yang dihajar habis-habisan adalah pemprov Riau, yang
begitu bodohnya, entah apa maksudnya, dengan entengnya memberikan alokasi dana
untuk kongres HMI yang nominalnya melebihi alokasi dana untuk korban bencana.
Semisal kita adalah anak-anak, kita bisa meminta kepada orang tuanya apapun
yang kita mau, namun orang tua akan mengabulkannya sesuai dengan apa yang kita
butuhkan, bukan atas apa yang kita inginkan. Ketika orang tua memberikan
seluruh apa yang kita minta, sudah barang tentu akan memberikan efek yang tidak
baik. Dan apabila kita cermati dengan baik, ketika orang tua tersebut memanjakan
anaknya dan kemudian anaknya tersebut mempunyai sifat yang tidak baik, siapakah
yang salah? Siapakah yang paling bertanggungjawab? Jelas, orang tualah yang
paling bertanggungjawab atasnya. Hal ini berlaku pula terhadap kasus diatas.
Penulis semakin mencurigai terkait adanya misi terselubung media untuk terus
memojokkan keberadaan organisasi mahasiswa dan memaksa kami dan organisasi
mahasiswa yang lainnya untuk bungkam secara tidak langsung.
Media di era globalisasi ini adalah sarana yang produktif untuk mengawal
suatu pemerintahan maupun aktivitas-aktivitas manusia pada umumnya. Terlihat dimana
kasus Freeport dikawal habis-habisan oleh media-media. Namun ketika praktek
media digunakan untuk suatu kepentingan, sisi yang kemudian penting dipegang
oleh pegiat media menjadi hilang. Unsur objektivitas semakin terhimpit oleh
subjektivitas yang sengaja dibubuhkan kedalam berita dan menghasilkan
kegaduhan-kegaduhan yang tak perlu, seperti kasus alokasi dana APBD Riau untuk
HMI. Dan jika kita flashback sedikit lebih jauh kebelakang, kita mafhum
dengan apa yang terjadi antara kubu KMP dan KIH dengan masing-masing media
subjektif penyokongnya.
Semoga
kemudian media dapat memunculkan kembali wajah aslinya, media yang objektif,
media yang mengungkap fakta, bukan tergantung dapat apa dan berapa. Sehingga tidak
terjadi kegaduhan-kegaduhan yang tak perlu dan salah sasaran yang merugikan
pihak tertentu. Dan penulis pun berharap, semoga kongres HMI di Riau lancar dan
melahirkan gagasan-gagasan baru, serta pemimpin baru yang merepresentasikan
wajah asli HMI, yakni sebagai organisasi mahasiswa yang dapat mencetak
kader-kader penerus bangsa yang dapat membawa negeri ini ke arah yang lebih
baik. Semoga Indonesia terhindar dari bencana-bencana, baik berupa bencana
alam, maupun bencana moral. Salam sejahtera, harmoni damai, lestari budaya,
Bhinneka Tunggal Ika. SALAM PERGERAKAN!!!
0 comments:
Post a Comment