![]() |
sumber : http://sofyanruray.info/ |
Setiap orang pasti
pernah mengalami kehilangan atas barang pribadinya. Barang pribadi yang
dimaksud disini bukan barang yang ada 15 cm dibawah udel mu lho, tapi
barang-barang seperti handphone, laptop, sepeda motor, pulpen, bahkan sesuatu
yang kecil namun menimbulkan fitnah besar diantara sahabat, KOREK GASOLIN.
Sebagai manusia yang manusiawi, kehilangan barang pribadi pasti menimbulkan
efek psikologis terhadap diri pribadi, apalagi seperti penulis yang segala
keperluan hidupnya masih nebeng orang tua. Sulit rasanya mengikhlaskan
kehilangan barang pribadi, apalagi yang paling disukai dan dibutuhkan. Meski dalam
ucap kita berkata, “ya wes lah, guduk rizki ne paling”, tapi dalam hati,
tetap berharap barang itu kembali. Sehingga, setelah barang tersebut hilang,
seseorang yang kehilangan biasanya berikhtiar terlebih dahulu untuk mencarinya
sebelum akhirnya secara terpaksa mengikhlaskan (ikhlas ko terpaksa?) kepergian
barangnya, sekali lagi, bukan barang yang dibawah udel, CAMKAN!
Ikhtiar yang dilakukan
bermacam-macam, ada yang lapor ke pihak berwajib, ada pula yang melapor ke
pihak yang bersunnah macam kelompok cingkrang dan jenggot panjang (eh...).
Bahkan, untuk perkara seperti ini pun, ada yang melapor ke Kyai, Ustadz, Dukun,
bahkan orang yang dianggap bisa menerawang pelaku penghilangan paksa barang
pribadi tersebut.
Menjaga barang pribadi dalam konteks agama Islam adalah
kewajiban. Sesuai dengan maqashid asy-syar’iyyah (tujuan syari’at),
bahwa hifdzul maal (menjaga harta) adalah harus diupayakan, sehingga
salah satu tujuan syariat pun salahsatunya adalah untuk menjaga harta/barang
pribadi kita. Seringkali ayah dari penulis memberikan nasihat bahwa harta yang
kita miliki adalah milik Allah, maka wajib kita menjaga titipan Allah tersebut
dengan baik. Begitulah bagaimana Islam dengan syariatnya mencoba melindungi hak
dasar individu para pemeluknya dalam konteks melindungi hartanya, sehingga ada
syariat/aturan tersendiri bagi pelaku pencurian termasuk hierarki yang harus
dilalui dalam mengusut tuntas kasus pencurian. Pun Indonesia sebagai negara
hukum, memiliki aturan-aturan yang jelas terkait sanksi atau pidana bagi pelaku
pencurian termasuk hierarki atau sistematika pengusutan kasus pencurian.
Dari uraian diatas, penulis mengambil sebuah intisari
penting bahwa ketika kita kehilangan barang berharga milik pribadi, gunakanlah
aturan-aturan yang ada untuk mengusut kasus tersebut, sehingga ikhtiar kita
selaku korban kehilangan tidak kemudian menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan seperti fitnah dan grundel dalam hati. Apabila ingin dibantu
pengusutannya oleh kepolisian, silahkan melapor ke kepolisian, apabila ingin
diusut secara kekeluargaan, silahkan diusut secara kekeluargaan dengan hierarki
dan sistematika pengusutan yang konkrit hingga terdapat saksi, barang bukti,
dan alat pendukung lainnya.
Ikhtiar/upaya yang baik dalam menuju suatu
pencapaian wajib dilakukan. Penulis masih ingat nasihat kyai saat masih belajar
di pesantren, bahwa sesuatu yang baik apabila dicapai dan diupayakan dengan
jalan yang tidak baik, maka hasilnya akan menjadi tidak baik. Begitupula dengan
kasus pencurian, korban kehilangan harus pula berupaya mencari pelaku pencurian
dengan cara yang benar/baik, yakni dengan sistematika dan regulasi yang benar. Dan
yang terpenting adalah bagaimana konsepsi pengusutan tersebut dilalui dengan
proses yang konkrit dan terbuka, bukan dengan sistem yang ngawang dan
tidak jelas alias ghoib sehingga menimbulkan ambiguitas yang berkepanjangan.
Seringkali penulis menemukan korban-korban pencurian
barang-barang yang cukup bernilai mencari jalan pintas dengan cara melapor ke
orang yang dianggap bisa menerawang si pencuri. Mereka menganggap hal ini bisa
secara praktis dan cepat memberikan jawaban kepada korban terkait identitas si
pencuri. Kekuatan gaib yang dimiliki si penerawang tersebut dianggapnya mampu
menemukan si pencuri. Namun, dalam pengamatan penulis selama hidup di dunia
ini, tidak ada satupun kasus pencurian yang mampu diusut tuntas dengan teknik
gaib ala si penerawang, yang ada si penerawang ini hanya memberikan jawaban
yang ngawang alias tidak jelas, seperti “pencurinya tadi lari ke arah
lor”, “pencurinya mungkin tetangga”, “pencurinya sepertinya masih
sodara sama kamu”, “kamu sering berbicara dengan si pencuri di warung kopi,
tapi tidak tahu”, “ciri-cirinya hidungnya pesek, perawakannya pendek dan hitam”,
“kemungkinan besar, si pencurinya adalah orang yang satu kontrakan”, begitulah
kira-kira jawaban yang sering penulis dengar dari korban yang mengadu kepada si
orang pintar, ahli menerawang.
Sepintas, hal ini tidak menjadi masalah, wajar dan
maklum saja ikhtiar seperti ini di kalangan kita, namun tidakkah
sahabat-sahabat melihat ada potensi fitnah dari statemen-statemen dari si
penerawang tersebut? Terdapat statemen yang secara jelas mencoba menuduh dan memfitnah
tetangga, teman satu kos, bahkan saudara sendiri tanpa proses pengusutan yang
jelas dan sistematis! Ini adalah sebuah problem sosial yang sederhana, namun
berdampak luas bagi interaksi sosial. Semisal si Komar dan si Kardun adalah
teman satu kos, kemudian handphone si Komar hilang, setelah itu, si Komar mengadu
kepada seseorang yang dianggap bisa menerawang pencuri, lalu si penerawang
berkata bahwa pencurinya kemungkinan besar adalah teman satu kosnya sendiri. Secara
sederhana, pastilah si Komar di dalam hatinya akan menuduh si Kardun sebagai
pencuri handphone nya, padahal si Kardun tidak pernah mengambil handphone si
Komar, dan pada akhirnya, si Kardun mengetahuinya dari orang lain bahwa si
Komar menuduhnya mencuri, dan merengganglah persahabatan keduanya. Meski sejatinya si Kardun tidak mencuri, tapi
beban di hatinya membuat dia enggan berteman dengan si Komar lagi karena tidak
diterima dituduh pencuri, dituduh dari belakang pula. Penulis berpikir alangkah besarnya dosa si penerawang yang karena statemennya, suatu ikatan pesahabatan menjadi renggang. Entahlah, dosa atau tidak
dosa, itu urusan Tuhan. Namun yang patut digarisbawahi dari kasus ini adalah, apakah
jalan macam ini adalah jalan yang waras yang bisa ditempuh korban pencurian
dalam mengusut kasus pencurian? Penulis menegaskan bahwa ikhtiar seperti ini
adalah ikhtiar yang TIDAK WARAS! Rasulullah tidak pernah mengajarkan sistem
seperti ini, pun secara kontekstual, Rasulullah malah mengajarkan ikhtiar yang
lebih waras melalui syariah jinayaat, mungkin yang melakukan hal-hal diatas
perlu mengkaji kembali bagaimana tuntutan Rasulullah terkait bab jinayat,
sehingga kembali ke jalan yang benar.
Penulis sebagai pemeluk agama islam percaya pada
hal-hal ghoib. Malaikat dan Jin merupakan hal yang ghoib dan benar adanya,
namun kepercayaan tersebut tidak terbangun atas dasar menduga-duga saja yang
kemudian menimbulkan ketidakjelasan dan fitnah, namun dibangun atas dasar
pondasi keilmuan yang jelas, melalui ngaji kitab-kitab teologis macam aqidatul
awam, tijan addarory, jawaahirul kalamiyah, addasuqy ummu barohin, dll.
Penulis tidak menafikan bahwa ada orang-orang yang memiliki kemampuan diatas
orang normal, seperti mampu melihat jin, melihat malaikat, dan melihat hal-hal
gaib lainnya. Namun, penulis secara pribadi menyarankan kepada sahabat-sahabat,
ketika problem yang dihadapi adalah terkait interaksi terhadap manusia (hablumminannas),
selesaikanlah di alam manusia, tidak perlu melibatkan alam gaib, jika memang
ingin melibatkan sesuatu yang gaib, memintalah pertolongan kepada Dzat Sang
Maha Ghaib, yakni Allah SWT, karena itulah yang benar, bukan malah meminta
bantuan si penerawang yang menerawang ke awang-awang dan masih ngawang.
Mohon maaf apabila ada kata yang salah, karena
penulis pun masih dalam proses belajar dan terus mencoba memperbaiki kesalahan,
dan mohon maaf apabila ada yang tersudutkan oleh coretan ini, penulis hanya
ingin mengutarakan suatu hal yang menurut penulis penting untuk disampaikan.
Semoga kita semua terhindar dari fitnah sewaktu hidup dan fitnah setelah meninggal
dunia, serta fitnah kubro dajjal. Amin. Wallahu’alam.
Wassalamualaikum.
Malang (Kosan Konco), 27/07/2016 01.10 WIB
0 comments:
Post a Comment