Oleh : Fawwaz M. Fauzi
Berbicara
mengenai simbolitas, maka kita akan berpikir mengenai simbol-simbol. Simbol ini
bisa diartikan sebagai lambang yang mewakili sesuatu yang ada (eksis) dan
berada (esensi). Simbolitas biasanya adalah sebuah manifestasi dari suatu
ideologi bahkan tradisi yang melekat dan dijadikan landasan fanatisme terhadap
sebuah tradisi/ideologi yang diyakini. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
diartikan bahwa simbol adalah brand (lambang) yang digunakan oleh seseorang
maupun komunal untuk mendeskripsikan suatu ideologi, gagasan maupun tradisi
yang dianutnya. Secara praktis, kita mampu mengenali GARUDA sebagai simbol
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana simbol tersebut mendeskripsikan
landasan ideologi Indonesia itu sendiri, yakni PANCASILA.
Seperti
yang dijelaskan diatas, simbolitas adalah mewakili eksistensi dan esensi, sehingga
simbol bukanlah hanya sekedar ada atau eksis saja, melainkan memiliki nilai
esensi pula didalamnya. Dalam proses kita bernegara, simbolitas yang dibangun
sudah kemudian mewakili kedua hal tersebut, dimana Indonesia adalah sesuatu
yang ada, bukan tidak ada (tentu dalam konteks fenomena, bukan nomena), dan
secara esensi pun, Indonesia ada, dimana terdapat rakyat, wilayah, pemerintahan
yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain. Penulis teringat ketika dulu
belajar PKn, dimana rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat dan pengakuan
dari negara lain adalah kriteria sebuah negara sah dan bisa diakui baik secara de
facto maupun de jure.
Dalam
konteks relasinya, esensi dan eksistensi sangatlah erat berkaitan. Esensi
sangat membutuhkan eksistensi. Tanpa eksistensi, esensi bukanlah apa-apa,
karena esensi (hakikat) memerlukan keberadaan yang mewakilinya. Begitu pula
eksistensi sangat membutuhkan esensi, karena tanpa esensi, keberadaannya
menjadi tidak bernilai dan dipertanyakan (absurd). Sebagai contoh, kita
mengenal tanah jawa, tanah toraja, tanah pasundan yang kesemuanya masuk dalam tatanan
esensi dan secara eksistensi adalah sama-sama tanah. Pembaca boleh cek, dalam
iklim dan kondisi (tekanan & suhu) yang sama, tanah jawa dan pasundan
tidaklah memiliki perbedaan dalam konteks eksistensinya (dalam kajian
inderawi), namun secara esensi, jelaslah berbeda (ditinjau dari segi
karakteristik penduduk dan tradisi sosial kemasyarakatannya). Ketika nilai
esensi dan eksistensi sudah berpadu, maka akan muncul sebuah simbolitas yang
diangkat atas nama kedua hal tersebut. Menurut penulis, keadaan tersebut
merupakan keadaan yang sangat ideal, dimana simbolitas diangkat dengan jalan
yang konstruktif yang merepresentasikan relasi sempurna dari kedua hal
tersebut.
Namun,
dalam realitas kehidupan kita bermasyarakat, seringkali penulis menemukan
sebuah fenomena yang tidak dalam kondisi yang konstruktif dan terkesan timpang.
Simbolitas yang diangkat banyak yang tidak mewakili eksistensi dan esensi.
Simbolitas seringkali diangkat hanya atas nama eksistensi tanpa dibarengi
dengan suatu esensi yang jelas, sehingga terjadilah sebuah distorsi atas relasi
kedua hal tersebut. Kita dapat melihat ini dalam berbagai praktek
bermasyarakat, baik praktek pendidikan, pemerintahan, beragama, berorganisasi,
dan lain-lain.
Sebagai contoh, penulis mencoba melihat
fenomena sertifikasi, akreditasi, dan penilaian. Sebenarnya, sertifikasi,
akreditasi dan penilaian adalah sebuah usaha simbolitas yang bernilai
eksistensi untuk mencapai esensi yang diharapkan. Namun dalam praktiknya, entah
disadari atau tidak, subjek maupun objek dari akreditasi, sertifikasi dan nilai
seringkali berpikir subjektif dan parsial dalam memandang eksistensi dan esensi,
mereka cenderung hanya berpikir atas eksistensi dan melemahkan posisi dari
esensi yang sejatinya adalah sesuatu yang juga penting dalam suatu praktik akreditasi.
Yang penting dapat akreditasi A, sertifikasi internasional dan nilai bagus,
bagaimanapun caranya, entah dengan membuat kebohongan besar demi mendapatkan
hal tersebut demi kejayaan simbolnya.
Menurut hemat penulis, praktik seperti ini jelas-jelas menghancurkan tradisi
konstruktif-intelektual, dan mendewakan kebiasaan buruk berupa pemikiran
destruktif-pragmatis yang berdampak pada lemahnya integritas dan
intelektualitas yang seharusnya dimiliki oleh pemuja-pemuja simbol.
Begitu pula penulis melihat fenomena dalam
praktek beragama yang cenderung mengagungkan eksistensi tanpa memperhatikan
eksistensinya secara matang. Sangat marak kita lihat, bahkan di dunia
pendidikan seperti kampus, praktik-praktik beragama dibawa ke ranah simbolitas
yang tidak menyeimbangkan antara eksistensi dan esensi secara cerdas dan
cermat. Eksistensi yang terlalu diagungkan membawa mereka kedalam
praktek-praktek radikalisasi yang secara tidak langsung membawa mereka terjebak
ke dalam simbolitas yang semu. Mungkin pembaca akan bertanya-tanya, mengapa hal
ini bisa terjadi? bahkan di dunia pendidikan yang seharusnya menciptakan
kaum-kaum terdidik yang (seharusnya lagi) mampu memahami hal ini? Entahlah,
mungkin karena para pendidiknya pun ada yang sudah menjadi tersangka dan
terdakwa dalam kasus simbolitas semu ini. Terus bagaimana? Penulis juga
tidak tahu.
Selain praktik tersebut, masih banyak
praktik-praktik sejenis dalam keseharian kita yang seharusnya penulis dan
pembaca sadari untuk kemudian di transformasikan menjadi praktik-praktik yang
mampu memposisikan relasi esensi dan eksistensi secara adil. Penulis kemudian
teringat dengan sebuah kalimat yang tertulis dalam sebuah jaket saat penulis
jalan-jalan yang berbunyi, “Dont think to be the best, but think to do the
best”, yang berarti “Janganlah berpikir untuk menjadi yang terbaik,
namun berpikirlah untuk melakukan yang terbaik”. Dalam kacamata penulis,
statemen ini sangatlah keren, dimana secara implisit, statemen ini memposisikan
eksistensi dan esensi secara sepadan, meski ketika kita baca secara tekstual,
kita hanya akan melihat adanya pengebirian atas eksistensi. Berangkat dari hal
tersebut, semoga penulis dan pembaca sekalian termasuk makhluk yang mampu
menyeimbangkan eksistensi (gelar, nilai, akreditasi, IPK, brand, dll)
dan esensi (hakikat dari gelar, nilai, akreditasi, IPK, brand, dll).
Semoga.
Wallahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment